Menjadi Hamba yang Semangat

Oleh KH. Mohammad Jamaluddin Ahmad

Pengasuh Pesantren Al-Muhibbib Tambak Beras Jombang

Dalam perjalanan spiritual manusia menuju Allah SWT. itu akan menapaki jenjang tahapan tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan 'abid yaitu orang yang beribadah kepada Allah SWT. dengan tujuan ingin masuk surga dan selamat dari siksa neraka.
2. Tahapan mukhlis yaitu orang yang beribadah hanya semata mata karena Allah SWT. bukan karena ingin masuk surga, ataupun selamat dari neraka.
3. Tahapan muhib yaitu orang yang cinta kepad Allah SWT.
4. Tahapan 'Arif yaitu orang yang ma'rifat kepada Allah SWT.

Dalam perjalanan tahap muhib menuju ke tahapan 'Arif seseorang akan mengalami empat tahapan tajally (kesadaran terdalam setiap individu untuk merasakan keberadaan kekuasaan Allah SWT. yang ada di dalam hati):
1.Tajalli 'Af'al
2. Taialli Sifat
3. Tajalli Asma'
4. Tajalli Dzat

Apabila ia telah sampai pada tahapan tajalli dzat. maka berarti ia tengah berada pada maqom 'Arifin (ahli ma'rifat). Perjalanan menuju Allah SWT. itu memang membutuhkan waktu yang sangat lama sekali lebih lebih bagi hati yang kurang bersih, tergantung kadar serta usaha seseorang dalam penyucian hatinya. Karena beragamnya kondisi atau watak hati manusia, Imam Ibnu 'Athoillah menggambarkan hati itu seperti "Tanah" :
1. Adakalanya tanah yang digali sedikit saja, sudah bisa keluar mata airnya. Ini adalah gambaran bagi hati seorang yang bersih.
2. Adakalanya tanah yang digali sampai dalam, tapi tetap saja tidak keluar mata aimya, karena kondisi tanahnya yang tandus, gersang dan berbatu. Hal ini adalah gambaran hati yang kurang bersih.

Tanah yang tandus, sebagaimana hati kita umumnya membutuhkan siraman dan harus diisi dengan air yang berasal dari sumber mata air yang lain, agar tetap terawat dan subur. Sebab apabila tidak diisi, maka tanah tersebut akan gersang selamanya. Begitu pula hati orang yang kurang bersih, harus diisi dengan cara mengikuti pengajian, majlis ta'lim dan siraman rohani lainnya. Apabila tidak demikian, maka perjalannya menuju Allah SWT. akan sulit, bahkan dapat tersesat. Disinilah pentingnya peranan seorang Guru Mursyid yang awas mata bathin-nya, untuk membimbing dalam perjalanan spiritual agar kita tidak tersesat. Dan berhati hatilah apabila akan mengisi. Carilah sumber air yang bersih, jangan sampai diisi dengan air kotor dan keruh. Begitu pula dalam mengisi hati, lihatlah dulu siapa yang mengaji dan apa alirannya, jauhilah aliran bid'ah (ahli bid'ah), sebab itu akan menambah rusaknya hati. Pilihlah aliran yang mengikuti Ahlis Sunnah Wal Jama'ah, aliran thoriqoh mu'tabaroh. Juga lihat dulu kitab apa yang dikajinya, kitab Mujarrobat kah? atau kitab kitab kema'rifatan yang tidak mu'tabar (kitab kitab yang kebenaran ajarannya tidak diakui oleh para 'Ulama), yang menyebabkan perjalanan kita nanti akan tersesat bahkan bisa membuat gila atau stres.

Ketahuilah, bahwa proses suluk dan wushul kepada Allah SWT. itu ada ilmunya dan harus dibimbing oleh seorang Guru (mursyid kamil). Seperti yang telah di ungkapkan oleh syekh Abdul wahab Asy Sya'roni didalam kitab "Al 'Uhud Al Muhammadiyyah: "Barang siapa yang tidak berguru, maka gurunya adalah syaitan".

Dan syekh Abu Yazid Al Busthomi berkata: "Barang siapa yang tidak mempuyai guru, maka gurunya adalah Syaitan."

Kebanyakan orang yang stres dalam mencari kema'rifatan, disebabkan oleh tidak adanya guru yang membimbing (Mursyid Kamil) atau terkadang punya guru akan tetapi salah niat. Dalam Kitab Ummul al Barohain karangan Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi menyebutkan syarat seorang yang patut sebagai Guru kamil yaitu:
Pertama, Orang yang dikokohkan dengan cahaya mata hati oleh Allah,
Kedua, Hatinya yang zuhud dari "dunia",
Ketiga, Belas kasih kepada orang miskin,
Keempat, Belas kasih kepada sesama mukmin yang lemah.

Orang yang menempuh perjalanan menuju Allah SWT akan menghadapi tahapan tahapan nafsu dan tahapan tahapan maqom. Ada tujuh macam nafsu dengan berbagai ciri masing masing, tahapan nafsu yang paling bawah adalah Nafsu Ammarah. Tanda atau perangai (watak kepribadian orang yang bernafsu ini banyak sekali diantaranya adalah sifat riya', pemarah, dsb. Kesemua sifat yang tercela (al Akhlaq Madzmumah) itu harus diperangi dan diriyadlohi (dilatih). Proses ini dinamakan "Takholli", yaitu merubah sifat sifat tercela menjadi sifat yang terpuji atau al Akhlaq al Mahmudah. Sehingga yang asalnya kikir bisa rnenjadi dermawan, yang riya' menjadi ikhlas, yang asal pemarah menjadi penyabar, yang asalnya sombong menjadi tawadlu'.

Kesemuanya itu dilatih dengan sungguh sungguh untuk dapat meningkat ke tahapan nafsu selanjutnya yang lebih tinggi yaitu Nafsu Lawwamah. Begitu pula halnya sifat sifat nafsu lawwamah yang buruk itu harus dilatih agar menjadi sifat yang terpuji sehingga meningkat lagi menuju Nafsu Muthma'innah dan begitu seterusnya sampai ke tingkat Nafsu Rodliyah atau Mardliyah.

Masa masa yang sangat berat dan berbahaya, adalah ketika seseorang tengah mecapai Nafsu Mulhimah, sebab ia diberi "ketersingkapan" (Mukasyafah) oleh Alloh SWT., sehingga ia diberi kemampuan untuk mengetahui hal hal yang bersifat ghoib, mengetahui kehendak hati orang lain, serta dapat menyibak sesuatu yang akan terjadi.

Kesemuanya itu adalah hal hal yang sangat rahasia dan sangat berbahaya, ia tidak boleh sembrono bahkan harus meniti diri dengan misalnya; konsultasi kepada Guru (mursyid karnil), sebab Mukasyafah itu ada kalanya:
1. Yang berasal dari Allah SWT. yang disebut Warid Robbany
2. Yang berasal dari Malaikat yang disebut Warid Malaki
3. Yang berasal dari Syaiton yang disebut Warid Syaitoni
4. Yang berasal dari Jin yang disebut dengan Warid Jinny
5. Yang berasal dari Nafsu yang disebut dengan Warid Nafsu

Dikatakan bahaya karena orang yang pada tahap Nafsu Mulhimmah itu belum bisa membedakan antara warid-warid yang datang, apakah itu Warid Robbany, Malaki, Syaitoni, Jinni, atau Nafsy. Sehingga orang tersebut tidak diperbolehkan untuk menggunakan Warid yang diberikan kepadanya sebelum dicocokkan dengan syari'at (Al Qur'an dan Al Hadits ).

Dibanding orang yang jarang atau tidak pernah susah, orang yang diliputi kegelisahan (dalam pengertian di atas) itu lebih cepat sampai pada tujuan, yaitu wushul. Sebab, secara psikis, kesusahan itu akan menjadi suatu pendorong yang memungkinkan seseorang untuk lebih memacu dirinya dan lebih bersemangat, melebihi jauh umumnya manusia, dalam menernpuh suatu perjalanan.

Jika diukur, seperti ilustrasi Abu Ali ad Daqqaq di atas, orang yang sedih memerlukan waktu satu bulan untuk menempuh perjalanan menuju Allah SWT. sedangkan orang yang tiada diliputi susah membutuhkan waktu bertahun tahun.

Misalnya, dua orang yang sama berangkat ke Jombang dengan jalan kaki, yang satu dalam kondisinya yang gelisah dan susah karena mendengar kabar lbunya meninggal, sedang yang lain tidak. Dapat dibuktikan, tentu orang pertama yang dalam kegelisahan dan susah akan tiba lebih awal. Karena kondisi hatinya yang demikian (bayangan dalam hatinya hanya ada rumah dan ingin segera melihat ibunya yang terakhir kali) akan memacu dirinya untuk berjalan lebih cepat sampai, dan membuat ia tak sempat menikmati pemandangan di kanan kirinya, berhenti atau mampir. Berbeda dengan orang yang tidak dalam kesedihan orang pertarna, ia akan bedalan semaunya dengan biasa dan santai, sebab tidak ada sesuatu yang memaksa dan mendorong dirinya untuk tiba lebih cepat di Jombang. Begitu juga perjalanan menuju Allah SWT. Kegelisahan yang tumbuh dari kesadaran akan kekurangan diri, akan mampu menjadi pendorong dan "pecut" yang memacu langkah mengejar ketertinggalan, pada akhirnya akan sampai tujuan yang diharapkan dan inilah hakikat penyesalan.

Dalam Kitab syarah Al Hikam di sebutkan, bahwa: Robi'ah Al Adawiyyah, mendengar ada seorang pria berkata: "Alangkah sedihnya diriku". Robi'ah berkata: "Jangan berkata begitu, tetapi katakanlah "Alangkah sedikitnya rasa sedihku". Karena, Jika memang engkau benar benar sedih, itu berarti engkau sama sekali tidak punya kesempatan untuk bersenang senang". (padahal engkau masih bisa tertawa bebas setiap hari).

Kesedihan yang dimaksud disini adalah kesedihan yang ditimbulkan karena keteledoran dalam beribadah, bukan karena memikirkan masalah duniawi, karena Allah SWT. telah menentukan dan mencukupi rizki manusia. Susah karena dunia artinya, susah memikirkan betapa sulitnya mendapatkan harta dunia, dimana dengan kesulitan itu diberi imbalan oleh Allah SWT. berupa dileburnya dosa. Sebab, ada dosa dosa tertentu yang tidak bisa dilebur dengan amal apapun, kecuali dengan susah dan jerih payah dalam mencari nafkah untuk keluarga, dengan catatan adanya keikhlasan di dalam hati.

Jadi, intinya adalah kita semua diingatkan agar selalu:
1. Merasa susah, sedih dan menyesal apabila sampai tertinggal (teledor) ibadah.
2. Bersemangat untuk menutupi (mengkodllo') ibadah yang telah ditinggalkan

Memohon kepada Allah SWT, supaya diberi semangat beribadah, sebab apapun dan bagaimanapun usaha dan niat kita apabila tidak diberi Allah SWT. maka hal itu tidak akan pernah terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Modul 4 Bahasa Inggris

MUBTADA (المبتدأ) DAN KHABAR (خبر)

Membangun Karakter Cara Islam