Surat Dari Gaza
Ini hari ketujuh, saya berbaur dengan warga korban agresi Israel di
Gaza, (2 Februari 2009). Satu hari saya di Rafah, enam hari sampai
sekarang saya bertahan di Jabalia Gaza Utara.
Saya melihat Gaza masih utuh, yakni semangat juang rakyat dan cara
bertahannya. Gaza masih kukuh, meski blokade Israel makin menggila.
Meski spirit warga Gaza terus membara, secara fisik Gaza porak
poranda. Permukiman penduduk, sekolah, masjid, dan pusat pemerintahan
hancur total. Kerusakan ter hebat dialami di Rafah, Khanyounis, Bayt
Lahia, Bayt Hanun, dan Jabalia.
Tetapi roda pemerintahan berderak tak terbendung. Pemerintahan resmi
Hamas, tetap menjalankan perannya dengan baik. Tanpa kantor, aparat
kepolisian dan keamanan tetap beroperasi. Di Rafah misalnya, meski
kantor polisi dihancurkan rudal dan bom Israel, mereka tetap berkantor
di jalanan dengan absensi selembar kertas. Bahkan mereka sempat
menangkap lima orang pengedar narkotika dari Mesir dan Israel.
Gaza City, ibukota Gaza, oase lain di tengah reruntuhan bangunan dan
gedung di Gaza. Pusat kota Gaza ini masih utuh. Gedung-gedung yang punya
konstruksi bangunan ter kokoh di Arab -mungkin – masih angkuh menatap
lepas laut Mediterranean. Bank dan fasilitas publik lainnya masih
berjalan baik. Kemacetan lalulintas juga pandangan hari-hari, seakan
mengatakan “Kami masih utuh wahai Israel!”.
Biaya hidup di Gaza tinggi. Nilai $ US 1 sama dengan 3,8 Shekel –
mata uang Israel. Transaksi hari-hari rakyat Palestina memakai mata uang
Israel. Hotel dengan tarif terendah mencapai $ US 100. Pasca perang,
biaya hidup di Gaza naik lebih dari 300 persen.
Setelah tanggal 5 Februari nanti, pintu perbatasan Rafah melalui
Mesir akan ditutup. Saya dan orang asing lainnya, diminta Kementerian
Luar Negeri Mesir, untuk keluar Gaza sebelum tanggal 5.
Ini seperti mimpi buruk. Selanjutnya, perbatasan yang akan dibuka
melalui Israel di Karem Abu Salom dan El Auda. Saya membayangkan, jika
pintu masuk Gaza melalui Israel, sama halnya dengan mengisolasi total
warga Gaza dari dunia luar. Hati saya terus bertanya, mungkinkah suplai
kebutuhan hidup melalui terowongan di Rafah mampu menghidupi 2,5 juta
lebih penduduk Gaza? Pun, juga heran, bagaimana mungkin pasca gempuran
yang demikian hebat, semua jenis kendaraan di Gaza masih beroperasi
secara baik. Dari mana suplai bahan bakarnya? Makin memahami kehidupan
Gaza rasanya rumit dan tak masuk akal.
Rasanya adil, jika akhirnya Hamas memproklamirkan kemenangannya.
Karena Gaza bisa berdenyut lebih cepat dan makin kuat. Bahkan Hamas juga
masih mampu melempar roket ke Israel, tiap kali Israel memancing keruh
dengan melempar rudal nya ke Rafah, Khanyounis, dan Jabalia. Dalam
catatan saya, Hamas hampir tak pernah melempar roket lebih dulu.
Biasanya, jika Israel melempar rudal lebih dulu, Hamas baru membalasnya
dengan dua sampai tiga roket. Mereka juga ingin menjelaskan, bahwa Hamas
masih kokoh sebagai kekuatan militer di Gaza.
Di Gaza, saya berpetualang menjumpai para korban agresi Israel. Saya
merekam cukup baik apa suara mereka. Dari anak-anak sampai orang tua.
Dalam catatan saya, delapan dari sepuluh anak laki-laki di Gaza
bercita-cita jadi anggota Brigadir Al-Qosam. Sisanya ingin jadi guru dan
pekerja sosial. Sedangkan tujuh dari sepuluh anak perempuan di Gaza,
ingin jadi dokter.
Mereka ingin mengobati para mujahidin yang terluka, jika Israel
menyerang tanah mereka. Dari setiap anak yang saya ajak berbincang,
mereka punya suara kejujuran yang tulus tentang perdamaian. “Kami
mencintai perdamaian dengan siapa pun. Tetapi jika tanah kami dijajah
dan orang tua kami dibunuh, kami akan melawan dengan maupun tanpa
Hamas”, kata Fatimah Atlas (13), di reruntuhan puing bekas rumahnya,
Bait Lahia. Murid kelas dua Madrasah itu, ayahnya lumpuh oleh senjata
Israel. Dia terkurung tujuh hari di sekolahnya, saat Israel menyerang.
Ada 10 temannya yang syahid di sekolah, saat itu terkena ledakan bom.
Untuk menghemat biaya hidup, saya tinggal di rumah-rumah penduduk.
Mereka sangat cinta orang Indonesia. Di sepanjang jalan saya lewati,
setiap mulut berucap, “Ahlan wa sahlan Indonesia!” . Di masjid-masjid
tempat saya shalat, para jamaah selalu mengerumuni saya. Nafas rasanya
sesak, karena seringnya dipeluk. Para imam masjid saling berebut ingin
menjamu saya dan menginap di rumahnya.
Keluarga di Gaza hidup dalam kesahajaan. Tetapi untuk menjamu tamu,
mereka rela mengorbankan makanan terbaiknya. Kadang, saya belanja roti
di warung pinggir jalan, tapi karena tahu saya orang Indonesia, mereka
tidak mau menerima uang saya. Bahkan saya diajak masuk rumah mereka dan
dijamu makan. Ingin menolak, tapi postur tubuh mereka yang tinggi,
membuat saya tak berdaya mengelak. Lengan saya yang kecil ditarik paksa
masuk rumah.
Teman-teman saya di Jakarta tahu, saya tidak doyan roti. Tapi di Gaza dengan lidah dan mulut yang terus berontak, saya paksakan untuk menelan roti itu. Ironisnya, porsi yang mereka suguhkan sama dengan porsi yang mereka makan. Repot tapi mengharukan.
Teman-teman saya di Jakarta tahu, saya tidak doyan roti. Tapi di Gaza dengan lidah dan mulut yang terus berontak, saya paksakan untuk menelan roti itu. Ironisnya, porsi yang mereka suguhkan sama dengan porsi yang mereka makan. Repot tapi mengharukan.
Tidak hanya merekam kehidupan anak-anak dan keluarga di Gaza. Saya
juga dijamu Brigadier Al-Qosam, sayap militer Hamas yang kerap membuat
Israel kerepotan dan stres. Suatu malam, saya diajak patroli mengunjungi
markas dan tempat penjagaan mereka di perbatasan Gaza – Israel di
daerah Jabaliah. Jarak ke Israel tak kurang dari 1 km.
Mereka menyambut kami ramah. Muka mereka ditutup sarung kepala hitam,
hanya tampak mulut dan matanya. Setiap prajurit menenteng senjata AK
47. Beberapa di antaranya memegang roket anti tank buatan Rusia.
Sebagian roket modifikasi buatan sendiri yang diberi nama Yasin. Menukil
nama almarhum Syekh Ahmad Yasin yang dibunuh Israel.
Satu malam saya bersama mereka. Jalan kaki memutari perbatasan
Jabaliah. Bau badan mereka harum, nafas yang mereka keluarkan tiap
bercakap juga harum. Tidak saya temui, nafas prajurit al-Qosam bau
jengkol. Telapak tangannya kekar dan kuat. Suaranya lembut dan santun.
Saya tidak dapat mengenali siapa mereka. Tapi, beberapa di antaranya
sepertinya saya tidak asing. Pernah berjumpa pada siang sebelumnya.
Saya mencoba mengingat siapa yang saya salami malam itu. Esok hari
saya berjumpa anak-anak muda yang berpakaian rapi di masjid-masjid.
Beberapa saya merasakan seperti sebagian dari orang yang saya jumpai
semalam. Benar saja, sebagian mereka mengaku. Melihat gelagat nya, sulit
menebak jika anak-anak muda yang gagah, rapi, santun, dan kalem ini
adalah pejuang Al-Qosam yang garang di medan laga.
Tak lupa, mereka juga mengajak saya ke rumah para mujahidin yang
luka. Mereka ada yang terluka di kepala, hancur tangan, kaki, dan tubuh
yang tidak utuh. Ajaib nya, luka-luka mereka cepat sekali pulih. Menurut
seorang dokter di Gaza, suhu dingin di Gaza bagian dari sebab kenapa
luka-luka itu cepat sembuh. Seorang mujahidin ada yang empat kali terjun
ke medan tempur, dan empat kali juga tubuhnya terluka. Tapi tidak ciut,
dia ingin menjadi mujahidin sampai syahid menjemput.
Saat ini di Indonesia, banyak foto-foto calon legislatif dan calon
presiden. Tapi di Gaza tak kalah banyak foto-foto terpampang di
jalan-jalan dan gang-gang. Tapi bukan foto caleg. Foto-foto yang
dipajang di Gaza adalah foto-foto para mujahidin yang syahid. Mereka
menjadi idola dan bintang bagi masyarakat Palestina umumnya. Mereka para
syahid yang dihormati, karena membela tanah Gaza secuil yang ingin
direbut Israel.
Di Gaza, saya merasakan hukum al-Quran diamalkan. Ini tercermin dari
tingkah laku dan kehidupan masyarakat Gaza. Masjid-masjid penuh tiap
shalat lima waktu. Rasanya saya ingin tinggal lama di tanah para
mujahidin ini. Tapi, saya harus kembali membawa kabar pada dunia, bahwa
tidak ada teroris di Palestina. Semua warga Gaza mencintai Hamas. Ia,
pemerintahan dan kekuatan militer yang syah di Palestina. Hamas
memenangi pemilu secara demokratis. Dan Hamas dicintai secara total oleh
rakyat. Anak-anak di Gaza dan Palestina kini makin membumi, mencintai
perlawanan dan selalu mengidolakan para mujahidin yang syahid.
Ini, catatan hari ke-7 saya di Gaza. Sebelum akhirnya saya
meninggalkan tanah Mujahidin itu pada 5 Februari 2009, atas permintaan
Mesir. Setelah itu, pintu masuk Gaza melalui Rafah ditutup.
Komentar