Karena Idul Fitri Begitu Berarti


Bulan Ramadhan yang penuh ampunan telah berlalu, menyisakan kerinduan sekaligus harapan untuk bisa kembali bertemu dengan Ramadhan di tahun-tahun mendatang. Dan, lebaranpun datang, menggantikan Ramadhan sekaligus sebagai hadiah terindah bagi kaum muslimin dan muslimat yang telah menunaikan kewajiban shaumnya selama sebulan.

Ramadhan dan lebaran tahun ini, dua hal yang sarat pelajaran, kenangan sekaligus pengalaman bagi kami sekeluarga. Jika dua lebaran sebelumnya kami ‘terpaksa’ merayakannya di perantauan, maka lebaran kali ini sengaja kami ‘paksakan’ untuk bisa merayakannya di kampung halaman bersama keluarga dan handai taulan.

Banyak hal yang kami temui, mulai dari kami pertama kali menginjakan kaki kembali di kampung tercinta hingga kami kembali lagi ke perantauan. Di awal kepulangan kami di kampung halaman, meski lebaran masih kurang seminggu, rupanya persiapan keluarga dan juga tetangga untuk menyambut datangnya Idul Fitri sudah dimulai.

Pak Kasto dibantu anak dan cucunya, Udin dan Azis bersama-sama mengecat rumahnya beberapa hari menjelang Idul Fitri.
“ Kami memang sudah lama ingin mengganti warna cat dinding rumah, dan sekarang inilah waktu yang tepat, karena kami ingin merayakan lebaran dengan suasana yang baru” begitu alasan pak Kasto ketika kutanya mengapa mengganti cat rumahnya yang cukup besar dan tentunya membutuhkan biaya serta tenaga yang tidak sedikit.

Pak Ali yang belum lama mengecat rumahnya merasa tidak perlu lagi mengecat tembok rumahnya. Dia dibantu anak laki-lakinya mengeluarkan seluruh kursi dan meja untuk dijemur, sebagian malah di cuci terlebih dulu.
“ Bangku dan meja ini jarang sekali di cuci dan di jemur, saya nda enak jika nanti tamu yang bersilaturahmi ke rumah merasa tidak nyaman” begitu jawabnya ketika kami lewat di depan rumahnya.

Jika Pak Kasto bersiap-siap menyambut datangnya Idul Fitri dengan mengganti cat rumahnya, pak Ali mencuci dan menjemur meja serta bangku-bangkunnya, lain lagi yang dilakukan oleh Pak Tarjo. Sebagai pamong desa, sekaligus imam di musholla Nurul Hikmah, minggu terakhir di bulan Ramadhan kegiatannya bertambah padat, mulai dari mengkoordinir zakat di lingkungan tempat tinggalnya sampai ikut menjadi paniti zakat mal atas permintaan seorang dokter sukses di RW sebelah.

Pak Warso, lain lagi. Sebagai orang yang dikenal ‘tuan sawah’ mengerahkan puluhan tetangganya untuk membantunya memanen kacang hijaunya yang sudah siap panen. Targetnya adalah sebelum Idul Fitri tiba, semua kacang hijaunya sudah dipanen, sehingga dia bisa merayakan Idul Fitri bersama keluarga besarnya yang rencananya akan mudik dari Jakarta, dan tetangga yang sudah membantunya juga bisa berlebaran dengan tambahan pemasukan dari bagian yang mereka dapatkan.

Bu Sri, ibu beranak dua ini sampai dua hari menjelang lebaran masih sibuk membuat kue dan makanan kering untuk sajian saat lebaran nanti. Biasanya kalau hari lebaran, banyak saudara dan juga tetangga yang bersilaturahmi ke rumahnya, jadi meski kue dan makanan buatannya tidak seenak makanan toko, tapi paling tidak dia bisa memberikan suguhan terbaik bagi tamu-tamunya.

Lain bu Sri lain pula bu Wati. Ibu muda yang ahli membuat kue dan makanan kering ini menjelang lebaran kebanjiran order. Mulai awal puasa, pesanan terus mengalir hingga sehari sebelum lebaran dia masih mondar-mandir ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat kue yang akan di sajikan para pemesannya di hari lebaran esok hari.

Sebenarnya banyak lagi persiapan-persiapan yang dilakukan oleh tetangga kanan kiri kami, dan hampir semuanya memiliki alasan yang sama yaitu karena lebaran atau idul fitri begitu berarti, tak mungkin dilewatkan dengan begitu saja.

Ketika Idul Fitri yang dinanti tiba, dan segala persiapan sudah selesai dilakukan, ada kepuasan tersendiri dalam merayakan hari kemenangan yang sudah dinanti-nantikan. Segala lelah dan kesibukan, tergantikan dengan senyum sumringah dan kehangatan canda tawa bersama keluarga dan sahabat.

Idul Fitripun berlalu, dengan sejuta kesan dan kenangan yang tak mudah dilupakan. Satu persatu para pemudikpun mulai kembali ke perantauan. Termasuk kami, seminggu setelah lebaran, dengan berat hati kami harus kembali ke Tangerang, mencoba menjemput rizki yang telah Allah persiapkan. Sampai di Tangerang, bersama dengan sahabat dan tetangga yang sebagian besar juga baru kembali dari mudik, kami kembali menjalani aktifitas rutin kami. Kelelahan memang tak dapat disembunyikan, tapi keceriaan diraut wajah masing-masing jelas tak bisa di tutupi. Meski lelah, meski hasil kerja yang telah dikumpulkan berbulan-bulan harus dikeluarkan untuk keperluan selama lebaran, yang jelas semua tidaklah berarti jika dibandingkan dengan keindahan silaturahmi bersama keluarga, menikmati anugerah Idul Fitri.

Buang waktu, buang biaya dan juga tenaga! Barangkali ada yang berpikir seperti itu, terutama mereka yang tidak merayakan Idul Fitri, tapi tidak bagi kaum muslim baik yang merayakannya di tempat asal atau yang harus mudik. Bagaimanapun, nikmatnya Idul Fitri, indahnya silaturahmi, dan meriahnya lebaran tidak bisa digantikan dengan materi, dan hanya bisa dirasakan oleh kaum muslimin. Persiapan menjelang lebaran memang melelahkan. Biaya yang harus dikeluarkanpun terhitung besar. Dan tenaga yang terkuraspun tidak perlu dipertanyakan. Tapi, semua sepakat. Semua sependapat, dan semua setuju bahwa melakukan semua ini karena Idul Fitri begitu berarti.

http://abisabila.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Modul 4 Bahasa Inggris

Membangun Karakter Cara Islam

MUBTADA (المبتدأ) DAN KHABAR (خبر)